MOS Cermin Pendidikan Kita Sebenarnya
MOS Cermin Pendidikan Kita Sebenarnya
Masa Orentasi Sekolah (MOS) kerap menimbulkan perbincangan hangat setiap siswa memasuki sekolah barunya. Dari para ibu di rumah sampai ke istana pemerintahan, MOS menjadi pembahasan yang tak ada habisnya.
Kegiatan MOS yang dilakukan pihak sekolah, acap kali tidak disetujui oleh para orang tua murid. Bagaimana tidak? Orang tua manapun tak akan pernah rela jika anaknya menjadi bahan; tertawaan, ejekan, tekanan psikis, dan tak jarang pula para senior berani bermain-main dengan fisik.
Penolakan MOS di negeri ini terus digalakkan, tak terkecuali penulis best seller Asma Nadia. Penulis novel “Surga Yang Tak Dirindukan” tersebut dengan tegas menolak MOS yang cenderung tidak bermanfaat.
“Di rumah orang tua mengajarkan ananda untuk menghargai & percaya diri. Di MOS mereka direndahkan. Di rumah orang tua mengajarkan anak utk lemah lembut terhadap sesama, di MOS mereka dicekoki kekerasan. Di rumah ayah bunda mengajarkan si kakak untuk melindungi dan menjaga si adik,di MOS anak2 belajar melihat kekuasaan yang tidak mengayomi. Laporkan! Bagi orang tua yang anandanya mengalami MOS yang tidak bijak, silakan di print dan dibawa surat dari Bapak Anies Baswedan, Menteri Pendidikan kita ke sekolah terkait dan laporkan secara online ke http://mopd.kemdikbud.go.id Jangan diam! Ini cara kita berjuang untuk anak-anak kita saat ini dan di masa depan! Kalau MOS tidak bisa dikawal dan menjadi wadah bagi perilaku semena-mena senior kepada junior, memberatkan secara ekonomi, merepotkan orang tua, lebih baik ditiadakan sama sekali,” tulis Asma di Fanpagenya.
Namun, tidak semuanya setuju atas penolakan MOS yang menghantui siswa-siswi baru tersebut. Salah satu liker Asma Nadia merasa keberatan.
“Anda memandang MOS dr sisi yg negatif. Bukan seperti itu sebenarnya MOS. Kita yg ada dilapangan tau persis manfaat MOS.. Saya pernah jadi siswa dan merasakan manfaatnya dan sekarang sy mencoba memberi manfaat itu sebgai pembimbing MOS....” tulis Eny Nafa di kolom komentar fanpage Asma Nadia.
Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan (Mendikbud) Anis Baswedan menegaskan untuk melaporkan jika terjadi kekerasan dalam kegiatan MOS.
"Laporkan jika memang terjadi kekerasan di sekolah pada saat MOS," ujar Mendikbud. Seperti yang dilansir REPUBLIKA.CO.ID (27/072015).
Selama ini kasus kekerasan yang dialami siswa-siswi mendiamkan dan didiamkan oleh para siswa, juga orang tua.
"Jadi harus dihentikan dan harus dilaporkan. Silahkan laporkan kekerasan melalui laman www.mopd.kemdikbud.go.Id," tegas Anis Baswedan.
Kalau kita amati kegiatan MOS itu memang lebing cenderung tidak bermanfaat, daripada manfaatnya. Terutama syarat-syarat aneh dari panita MOS. Salah satunya, harus membeli ini-itu yang harganya juga cukup mahal, dan waktunya cuma satu malam untuk menyiapkan itu semua.
Tentu saja para siswa dan orang tua kocar-kacir menyiapkan syarat-syarat aneh dari panitia Mos tersebut. Jika syaratnya tidak terpenuhi, maka siap-siaplah peserta MOS akan diberi sanksi oleh panita yang bermental sok kuasa.
Dan masih banyak lagi hal-hal yang tidak masuk akal yang dilakukan kegiatan MOS tersebut. Itu hanya satu contoh yang sering terjadi mewarnai budaya pendidikan di sekolah.
Kegiatan Ini sebenarnya seperti aksi “balas dendam” oleh senior pada junior. Karena kakak kelas tersebut diperlakukan seperti itu juga saat awal masuk sekolah. Tanpa disadari atau tidak, budaya “pembodohan” ini dijadikan alasan bagi pendukung MOS; agar siswa-siswi baru bisa menghargai kakak kelas, bisa lebih mendekatkan diri lagi antara siswa baru dengan kakak kelas, belajar patuh terhadap guru, mengenal lingkungan sekolah, dan mencintai sekolah barunya.
Pelu diketahui, di balik wajah pendidikan Indonesia ada pembodohan yang disembunyikan, dipertahankan, didukung, dan dibudayakan terus ke generasi berikutnya. Ini kah wajah pendidikan kita sebenarnya?
Hakikat pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Membentuk mental siswa bukan dari kegiatan MOS yang kerap kali menjadi ajang bergengsi tiap tahun. Tapi memberikan pemahaman kepada seluruh siswa baru, apa sebenarnya hakikat belajar. Dan tentu saja seremonial yang diselenggarakan tanpa ada kegiatan yang “membodohi” para siswa-siswi baru.