Untuk Apa Belajar Agama?
Penulis: Farhan Majiid
Untuk Apa Belajar Agama?
Untuk Apa Belajar Agama?
Beberapa hari yang lalu, sempat membaca sebuah status. Isinya kurang lebih membandingkan kondisi di negara Indonesia dengan negara lain. Yang membuat menarik adalah ketika tertulis kurang lebih ‘Di negara lain saja yang tidak mengajarkan agama, mereka justru maju. Sedangkan di Indonesia yang belajar agama, korupsi marak terjadi, bahkan di kementerian agama’. Pernah juga mendengar ada yang berpikiran ‘Jangan ajarkan agama, karena agama membuat penganutnya menjadi fanatik. Sehingga, terjadilah terorisme yang mengganggu kehidupan beragama’. Ini tentu membuat kita, bangsa Indonesia yang agamais bingung. Sebenarnya, untuk apa belajar agama?
Yang pertama, seseorang belajar agama karena kebutuhan, bukan sekadar kewajiban. Ya, setiap manusia yang beragama butuh untuk mempelajari agama. Karena hanya dengan mempelajarinya, ia akan dapat memahami, mempraktikkan, hingga mencintai agamanya dalam kehidupannya. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki rumah, tentu harus mempelajari rumahnya. Bagaimana kondisi fisiknya, pembagian ruangnya, sirkulasi udara, pencahayaan, dan yang lainnya. Sehingga, ia tak sekadar memiliki rumah, tapi ia akan paham dengan kondisi rumahnya dan tentunya akan mencintai rumahnya.
Berikutnya, dalam agama, banyak sekali hal yang harus dipahami. Karena, setiap agama itu berbeda. Beda sembahan, ritual ibadah, hingga keyakinan. Sehingga, kita bisa memberikan pembeda antara agama yang kita anut dengan agama lain. Dan yang terpenting adalah, tidak mencampuradukkan ajaran antar agama yang berbeda. Sebagai contoh, ketika seseorang memiliki mobil BMW, tentu ia harus paham bagaimana cara mengendarai, merawat, hingga suku cadang mobilnya. Meski mobil BMW dan Toyota adalah sama-sama mobil, tentu suku cadang, mesin, bahkan performanya berbeda. Tak bisa dipaksakan mobil BMW menggunakan suku cadang Toyota, begitu pula sebaiknya. Sehingga, dengan memahami karakteristik mobilnya, ia akan merawat mobilnya sesuai dengan yang seharusnya.
Bahkan, ada yang berkata ‘semua agama itu kan sama. Sama sama mengajarkan kebaikan. Jadi, kenapa harus membeda-bedakan agama?’. Kita lihat lagi kasus mobil tadi. Memang, mobil BMW, Toyota, dan yang lainnya sama-sama mobil. Tapi tetap saja beda bukan? Mulai dari pabriknya, mesinnya, komponen suku cadangnya, hingga cara merawatnya. Karena berbeda itulah, mengapa kebutuhan setiap mobilnya berbeda. Sehingga, tak bisa disamakan antara mobil BMW dengan Toyota, dan dengan mobil lainnya yang memiliki kekhususan sendiri. Demikian pula dalam beragama, meskipun agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan yang lainnya sama-sama agama, tetap saja Tuhannya, pembawa ajarannya, ajarannya, hingga aturannya berbeda. Sehingga, tak bisa disamakan antara agama Islam dengan Kristen, dan dengan agama lainnya.
Ada pula yang mengkritik mengapa ketika seseorang yang beragama, tetap saja ia mendakwahi orang lain yang berbeda agama untuk ikut dengan agamanya. Apakah berdakwah salah? Tentu tidak. Karena, kewajiban seseorang untuk berdakwah bukan tanpa alasan. Melainkan, agar orang lain terbuka pikirannya dan mengenal agama lain. Sehingga, ia akan memilih jika agamanya tetap lebih baik, tak akan ia berpindah. Namun, jika agama orang yang mendakwahinya lebih baik, ia akan berpindah tanpa paksaan, melainkan dari kesadaran. Yang harus diperbaiki adalah metode dakwahnya. Dakwah yang tanpa paksaan, namun lebih menekankan dakwah yang penuh rahmat. Yakni, dengan memberikan keteladanan. Memang, tak ada paksaan dalam beragama. Tapi, sudah jelas bedanya antara jalan yang menunjukkan kebenaran dengan jalan yang menuju kesesatan.
Kemudian, ada pula yang berpikir ‘untuk apa belajar agama jika masih korupsi, masih menindas, masih menzolimi?’. Perlu dipahami bahwa, ketika seseorang bertindak salah, misalnya melakukan korupsi, suap, merampok, dan kejahatan lain, bukanlah salah agamanya, bukan pula kesalahannya karena belajar agama, apalagi kesalahan orang yang mengajarkan agama kepadanya. Tapi, itu adalah kesalahan orang itu sendiri. Sebagai contoh, seorang anak, ketika ia belum bisa berjalan, tentu akan diajari cara berjalan oleh orang tuanya. Tujuannya pun baik, agar sang anak dapat beraktivitas dengan mudah, juga nanti ia akan berjalan untuk belajar ke sekolah. Tapi, ketika sang anak beranjak besar dan mampu berjalan, ia berjalan tidak sesuai dengan harapan orang tuanya. Sang anak tidak ke sekolah. Ia justru bolos sekolah, dan justru pergi menonton ke bioskop. Apakah disalahkan jika ia mampu berjalan? Ataukah disalahkan orang tuanya yang mengajarkan cara berjalan? Tentu tidak. Itu adalah kesalahan sang anak dalam bergaul hingga ia masuk ke dalam pergaulan yang tidak baik. Bukan kesalahan kemampuannya untuk berjalan, apalagi orang tuanya yang mengajarkan cara berjalan.
Ada pula orang yang berkata, ajaran agama ada yang berbahaya. Apalagi Islam yang mengajak untuk berjihad, ini akan menjadi momok yang mengerikan bagi banyak orang. Satu hal yang perlu kita pahami bersama. Banyak orang anti dengan kata jihad karena menyamakan jihad dengan berperang. Penyamaan arti ini kurang tepat. Jihad memiliki arti bersungguh-sungguh, berjuang, dan bertekad kuat untuk meraih tujuan yang mulia. Berbeda dengan perang yang dalam bahasa arab adalah Qital. Memang, berperang adalah bagian dari jihad. Tapi akan terlalu sempit jika menganggap jihad hanya berperang. Jadi, tak ada yang salah dari jihad. Karena, seorang anak yang bersekolah dengan giat untuk meraih cita-cita dan meraih ridho orang tuanya, adalah tindakan berjihad. Orang tua yang bersungguh-sungguh bekerja agar memenuhi nafkah keluarganya dengan cara yang halal, adalah tindakan berjihad. Seorang pejabat yang bekerja keras dengan ikhlas untuk melayani rakyatnya, adalah tindakan berjihad. Hingga seorang muslim yang membela islam di manapun dan kapanpun meski harus mengorbankan jiwanya, itulah jihad tertinggi. Jadi, jika kita masih menilai negatif orang yang belajar agama dan menjadi seseorang yang berjihad (mujahid) adalah kesalahpahaman kita terhadap arti jihad itu sendiri. Bukan kesalahan agama yang mengajarkan untuk berjihad.
Mengapa pula di masyarakat Indonesia masih sering terjadi konflik antaragama? Bukankah ini berarti kita tak perlu membawa agama ke dalam kehidupan sehari-hari? Ini justru pemahaman yang keliru. Dengan membawa agama ke dalam kehidupan sehari-hari, sikap toleran akan tumbuh. Karena, sikap saling menghormati dan menghargai antar umat beragama adalah cermin seseorang yang taat beragama. Bukankah sikap kami (muslim) sudah jelas? Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
Lalu, mengapa belajar agama harus dipaksa dengan memasukkannya ke sekolah? Kenapa tidak dipelajari dari kesadaran sendiri? Toh, jika nanti ia butuh, ia akan mempelajarinya. Berpikir seperti ini kuranglah bijak. Sebagai gambaran, untuk apa seorang anak di sekolah diajarkan pelajaran seni? Toh tidak semua anak bisa menjadi seniman. Karena seni yang diajarkan di sekolah adalah dasar. Ketika ia ingin mendalaminya, ia bisa belajar langsung ke ahlinya. Begitu pula dengan agama. Meski tak semua anak akan menjadi orang yang ahli dalam agama, ia tetap memiliki dasar dalam menjalani agamanya dari pelajaran di sekolahnya. Sehingga, jika ia ingin mendalami lebih lanjut, ia dapat mendatangi agamawan untuk memperoleh ilmu yang lebih.
Sesama umat beragama harus memiliki sikap toleransi. Toleransi dalam arti menghormati, tidak mencampuri, namun tetap mendakwahi, tanpa memaksa. Tapi, toleransi tidak akan diraih jika kita tidak memahami agama kita sendiri. Dan pemahaman akan agama hanya akan dapat dicapai jika kita mempelajarinya. Dengan pemahaman yang baik dalam beragama, seseorang akan bertindak dengan baik sesuai dengan agamanya. Namun, ketika ada seseorang yang beragama melakukan kesalahan, bukanlah salah agamanya. Melainkan kesalahannya dalam mempraktikkan agama yang disebabkan ketidakpahaman dalam beragama sebagai akibat dari keengganan untuk mempelajari agamanya.
Maka, untuk apa belajar agama? Jawabannya adalah agar kita paham dengan agama, sehingga bisa beragama dengan baik. Karena jika kita bisa beragama dengan baik, kita akan mampu menjadi manusia yang baik. Hingga kita memperoleh kebaikan tak hanya untuk saat ini, namun juga meraih tempat terbaik di hari esok.
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Sebaik baik kalian ialah yang mempelajari Al Quran dan mengajarkannya